Education Blog

Selamat Datang di Blog kami, segala komentar anda kami terima demi perbaikan bersama.

Senin, 10 Mei 2010

PENDIDIKAN KARAKTER ANAK SEJAK DINI

Oleh : Iman Sofyani

(Guru Fisika SMAN 1 Sagaranten Kab. Sukabumi)

BAB I

PENDAHULUAN

       Dalam dasa warsa belakangan ini , kondisi bangsa demikian terpuruk. Tempaan demi tempaan terus melanda negeri ini. Konflik antar suku, agama, ras, golongan tak dapat dielakkan. Kemiskinan bukannya semakin surut, tetapi justru semakin bertambah. Kekerasan terhadap perempuan tidak semakin berkurang, hak-hak anak banyak terenggut. Bahkan bencana alam demi bencana alam yang merenggut ribuan nyawa manusia pun terjadi beberapa kurun waktu belakangan ini.

       Negara, sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup rakyatnya, terlihat tidak cukup mampu mengatasi persoalan-persoalan krusial tersebut. Hal itu terjadi karena komitmen para penyelenggara negara untuk berpihak kepada kepentingan rakyat masih demikian minim. Korupsi terjadi di hampir setiap instansi pemerintahan. Pertarungan kepentingan antar golongan demi merebut dan atau mempertahankan kekuasaan pun seolah sudah menjadi santapan sehari-hari. Bagaimana mungkin penyelenggaraan negara akan semakin baik dan memberi makna bagi kehidupan seluruh rakyat, jika integritas para pemimpin bangsa demikian rapuh.

       Penyakit individualisme sebagai dampak dari masuknya kapitalisme global, pun sepertinya benar-benar telah merasuki jiwa hampir seluruh bangsa ini, sehingga menjadikan kepentingan diri menjadi nomor satu tanpa peduli dengan penderitaan orang lain, telah menjadi kebiasaan di banyak pribadi. Dalam mainset banyak pribadi saat ini, penderitaan seseorang adalah tanggung jawabnya sendiri. Tidak ada tanggung jawab social apalagi tanggung jawab negara untuk mengentaskannya. Lalu apa yang salah sebenarnya dengan semua ini. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kondisi ini.

       Kegagalan membangun karakter bangsa yang kuat, memiliki integritas, tanggung jawab, dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama sepertinya memiliki andil yang signifikan bagi penciptaan kondisi bangsa seperti telah digambarkan di depan. Ketika kita berbicara mengenai karakter, tentunya hal itu akan sangat erat kaitannya dengan system pendidikan yang selama ini diberlakukan. Dan partisipasi komponen pendidik itu sendiri. Harus diakui, bahwa system pendidikan kita selama ini masih memberi ruang yang demikian sempit bagi anak untuk mampu mengenal diri dan potensinya sendiri. Pendidikan kita cenderug mencerabut anak dari akarnya. Anak dibiasakan untuk menerima sesuatu, yang sama sekali baru bagi mereka. Pendekatan yang dibuat dalam metode pendidikan kita pun relatif semakin menjauhkan anak dari alam dan lingkungannya. Betapa tidak, dalam pendidikan dasar misalnya. Untuk belajar matematika, anak langsung disodori dengan angka-angka yang tentu saja asing bagi mereka. Mereka tidak bisa belajar berhitung, belajar ilmu alam, dari lingkugan alamnya sendiri. Padahal sebenarnya alam telah meyajikan ilmu yang demikian besar bagi mereka. Akibatnya, kepedulian anak terhadap alam/kehidupan sekitarnya menjadi demikian minim. Bagaimana mereka mau peduli, ketika mengenal pun tidak Di samping itu, daya serap anak terhadap materi pelajaran yang mereka dapat pun menjadi kurang, karena materi yabg mereka dapat merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi mereka. Proses belajar secara alamiah tidak pernah dialami oleh anak.

       Ukuran nilai yang dibangun dalam system pendidikan kita selama ini pun cenderung merampas identitas dan jati diri anak. Ukuran keberhasilan pendidikan hanya dilihat dari nilai-nilai formal pelajaran di sekolah seperti membaca, berhitung, menulis, dll. Anak selalu didorong untuk memiliki kemampuan yang seragam, bisa membaca, menulis halus. Hal itu mengakibatkan terpangkasnya potensi lain yang seharusnya dimiliki anak. Orang tua pun akan cenderung mendorog anak untuk berprestasi dalam bidang-bidang yang dalam paradigma masyarakat umum bernilai baik. Dengan demikian potensi anak di bidang yang lain akan tidak diakomodir. Penyeragaman itulah yang pada gilirannya akan mereduksi nilai-nilai pluralitas atau keragaman. Perbedaan karakter dan potensi anak menjadi tidak diakui, yang dengan demikian pendidikan pluralitas menjadi sangat minimalis. Minimnya penghargaan akan perbedaan pada diri anak itulah yang kemudian akan membangun karakter yang tidak menghargai perbedaan pula, sehigga jika saat ini terjadi suasana yang chaostik di negeri ini, kiranya hal itu menjadi hal yang wajar, mengingat bangsa ini demikian tidak menghargai perbedaan yang ada.

       Nilai-nilai kepedulian yang tinggi terhadap sesama pun cenderung tidak diajarkan di sekolah. Sedangkan dalam lingkungan keluarga pun kadang-kadang orang tua masih menggunakan metode yang memaksa, kurang memanusiakan anak, sehingga proses internalisasi nilai pada anak menjadi kurang optimal. Keteladanan yang seharusnya didapatkan dari orang tua hampir-hampir tidak didapatkan oleh anak, mengingat orangtua telah disibukkan dengan urusan orang dewasa. Upaya pemecahan masalah anak pun kadangkala masih menggunakan pola berpikir orang dewasa, sehingga anak cenderung merasa kurang dihargai.

       Melihat kondisi ini, semua elemen bangsa ini harus segera dibangkitkan dari tidur panjangnya, agar menyadari akan keadaan yang sedang terjadi. Mempersiapkan anak-anak negeri menjadi kader-kader bangsa yang memiliki karakter yang mampu meneruskan perjuangan para pendahulu bangsa, mewujudkan perubahan ke arah kehidupan yang bermakna bagi seluruh bangsa, merupakan satu hal yang harus segera dilakukan. Penyebaran wacana, untuk kemudian menjadi opini masyarakat merupakan satu upaya yang bisa dilakukan, karena perubahan perilaku mustahil akan didapatkan ketika perubahan pola berpikir tidak terjadi.

       Upaya yang bisa dilakukan dalam menanamkan pendidikan karakter sesuai dengan perannya, pada Peran orang tua, Peran masyarakat, Peran praktisi pendidik, Peran pemerintah. Menggali bersama-sama dalam keluarga masing-masing, kemudian menyebarkan pengalaman-pengalaman sebagai temuan untuk mendorong perubahan-perubahan menuju perubahan perilaku manusia anak dan manusia orang dewasa, maupun sistem yang berlaku menuju sistem yang bermuatan menghidupi hidup ini. Agar alam tidak protes kepada para penghuninya.

 

BAB II

ISI

A.  Pembentukan Karakter

       Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin, atau bahkan sejak dilahirkan, dan harus dilakukan secara terus menerus dan terfokus. Ada beberapa hal yang perlu mendapat penekanan lebih, dalam menerapkan model pendidikan karakter.

a. Pertama, "Knowing the good. Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut. "Selama ini banyak orang yang tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun mereka tidak tahu alasannya apa dan masih terus melakukan hal-hal yang tidak baik, jadi masih ada gap antara knowing dan acting," .

b. Kedua, "Feeling the good". Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Disini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. "Jika Feeling the good itu sudah tertanam, itu akan menjadi "engine" atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau mengerem dirinya agar terhindar dari perbuatan negative"

c. Hal ketiga yang coba ditumbuhkan adalah "Acting the good". Pada tahap ini, anak dilatih untuk melakukan perbuatan baik. Tanpa melakukan, apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Jadi, selama ini di sekolah, anak tidak dilatih untuk melakukan hal-hal yang baik. "Selama ini hanya himbauan-himbauan saja. Sementara, melakukan sesuatu yang baik itu harus dilatih, sehingga hal tersebut akan menjadi bagian dari kehidupan mereka," Ketiga hal diatas harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Jadi, konsep yang dibangun adalah habit of the mind, habit of the heart dan habit of the hands.

       Di samping itu, pendidikan karakter juga mengembangkan semua potensi anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini, perkembangan anak harus seimbang, baik dari segi akademiknya maupun segi sosial dan emosinya. Pendidikan selama ini hanya memberi penekanan pada aspek akademik saja dan tidak mengembangkan aspek social, emosi, kreatifitas, dan bahkan motorik. "Anak hanya dipersiapkan untuk dapat nilai bagus, namun mereka tidak dilatih untuk bisa hidup" .

       Pendidikan karakter berbasis humanis mau tidak mau mengajak kita menengok ke belakang, dimana pujangga besar yunani kuno, Homeros, meletakkan visi pendidikannya lewat tampilan pahlawan sebagai gambaran manusia ideal, yang memiliki areté. Dalam kaitannya dengan kualitas fisik bisa berarti kemampuan, kekuatan, keuletan, kepandaian, kesehatan, kemurahan hati, kemakmuran. Sementara dalam kaitan moral berarti keutamaan, keberanian, nilai, keadaan gembira, bijaksana, nama baik, keunggulan. Dalam fase perkembangannya, tidak sekedar terdominasi pada kesadaran perjuangan hidup individu untuk meraih keutamaan yang bersifat individual, justru semakin merambah pada keutamaan berbagai macam dimensi atau bidang kehidupan, misalnya keutamaan sebagai petani (Hesiodos), keutamaan serdadu (Tirteo dan Callino), keutamaan dalam olahraga (Pindaro), keutamaan sebagai orator (kaum sofis dan Isokrates), keutamaan filosofis (Plato).

       Gambaran ini menyimpulkan bahwa Yunani kuno memiliki dua inti ketertarikan pendidikan; gimnastik & musik, serta kebaikan & keindahan. Dimana pendidikan karakter ditekankan pada pertumbuhan individu secara utuh dengan cara mengembangkan potensi diri individu, yang berkaitan dengan dimensi fisik dan moral. Hingga di kemudian hari didapati adanya dua unsur penting bagi kurikulum Yunani klasik, pertama, adanya hubungan antara pendidikan manusia dengan lingkungan hidup yang mengitarinya. Maksudnya, mendidik berarti menanamkan nilai dan perilaku demi apresiasi dan rasa hormat dari masyarakat. Kedua, adanya gagasan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan manusia secara total sepanjang hidup. Intinya menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik. Seperti kata Martin Luther King, Jr: “Kecerdasan plus karakter adalah tujuan sejati sebuah pendidikan.”

       Gagasan brilian pujangga besar Homeros kemudian dikembangkan oleh Hesiodos. Konsepnya berubah dari konotasi kepahlawanan menjadi pergulatan di medan kehidupan sehari-hari bagi kaum jelata, kalangan sederhana, dan petani. Menurutnya kalangan ini dapat memiliki keutamaan lewat penghayatan akan makna kerja keras dengan cucuran keringat. Areté pada kaum ini diperoleh melalui sikap bersahaja dan sederhana dalam menyikapi persoalan-persoalan hidup. Berdasarkan pengalamannya menghadapi konflik pribadi dengan saudara laki-lakinya, Perse, selanjutnya muncul dua dasar prinsip pendidikan; berlaku adil, dan mau bekerja keras. Sebab menurutnya, mereka yang tidak bekerja telah berlaku tidak adil. Dasar moral yang dihantarnya lewat media puisi ini dalam kerangka pedagogi dan pendidikan karakter dapat menjawab pertanyaan: apakah pendidikan yang mengarah pada keutamaan yang akan menjadi karakter individu dapat diajarkan? Dan, apakah areté dapat diajarkan? Ketegasan Hesiodos menjawab: Ya!, membawa kita pada rangkuman pemikiran dua pendidik besar dalam kultur Yunani; Homeros yang mengingatkan kita bahwa setiap kebudayaan bergerak dalam kerangka pembentukan humanisme aristokratis lewat kemunculan kesadaran diri untuk membentuk kualitas diri sebagai pahlawan dan tuan atas diri sendiri. Sedangkan Hesiodos menunjukkan dasar kokoh keutamaan populis berupa penghargaan atas nilai kerja yang membingkai perilaku adil demi kestabilan dan kesejahteraan suatu masyarakat.

       Pendidikan karakter atenean yang lebih bersifat demokratis, dialogis, dan menghargai individu, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pendidikan karakter spartan pada masa kemerosotan. Menjadi antitesis oleh sifatnya yang tiranis, totalitarian, dan komunal. Areté pun tidak sekadar idealisme dengan menjadi serdadu bersemangatkan patriotisme, namun negara sebagai institusi tertinggi mengambil alih kinerja edukatif secara total, dan dalam arti yang sesungguhnya. Perubahan drastis ini mengikuti perubahan masa keemasan Sparta dari negara militeristis, namun juga menjadi pusat kegiatan budaya, seni, dan keindahan lewat perkembangan musiknya, menjadi lebih barbar, keras, dan membatu. Akibat terjadinya revolusi sosial politik sekitar tahun 550 SM dikukuhkan keberadaan para tiran yang memegang kendali militer secara holistik. Dalam konteks rejim tiranis militeristis, pendidikan karakter Sparta bagi warga negara terutama diarahkan pada perubahan keutamaan moral sebagai warga negara, yang memiliki cinta dan ketaatan secara total pada tanah air, menghargai nilai kekuatan dan kekerasan, dan mengutamakan latihan fisik demi kesiapan tempur. Gambaran idealisme kepahlawanan secara total lalu mengaliri setiap jiwa warga negara yang kemudian diamini sebagai idealisme pendidikan karakter ala Sparta. Hingga menegaskan dan meyakini betapa pentingnya negara sebagai identitas komunal sebagai bagian dari kinerja individu untuk menyempurnakan hidupnya. Sebab dikatakan bahwa individu tidak akan sampai pada kesempurnaan kemanusiaannya jika tidak disertai adanya semangat berkorban terhadap komunitas yang kebaikannya mengatasi kebaikan individual.

       Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus-menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Sebab dengan membelajarkan secara serempak pikiran, hati, dan fisik, anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari "karakter". Dimana mereka mendidik anak menjadi "good and smart", dalam arti ‘terang hati dan pikiran’. Inilah visi baru kemanusiaan yang dihantar oleh Sokrates lewat paradigmanya yang terkenal, “kenalilah dirimu sendiri”. Dengan mengenal diri sendiri, berarti manusia juga mengenali ‘jiwa’-nya. Lewat pemeliharaan jiwa sebagai tujuan pendidikan karakter, Sokrates memberi warna baru bagi Athena. Dan bagi dunia secara keseluruhan. Sebab, jiwa merupakan suatu hal yang membedakan manusia yang satu dengan manusia lainnya. Lebih dari itu, areté dalam versi Sokrates lebih interior, yaitu dimensi moralitas manusia. Pemahaman ini dikritik pedas oleh Plato, karena menurutnya pendidikan memiliki fungsi esensial untuk memimpin manusia pada keutamaan, yang membawa manusia pada kehidupan kontemplatif antara apa yang ‘baik’ dan yang ‘benar’. Lewat penggabungan tiga kenyataan penting dalam diri manusia yaitu negara, kebahagiaan dunia, dan kebahagiaan yang mengatasi dunia ini. Inilah jiwa yang mesti dipelihara keharmonisannya. Dan visi ini hanya bisa dilakukan dalam kebersamaan dengan semua warga untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang demokratis. Di dalamnya kebaikan dan keadilan menjiwai setiap kehidupan politik dan individual warga negara. Tanpa kontekstualisasi dalam kehidupan politis, perilaku moral sebaik apa pun hanya akan memiliki corak domestik.

B.  Tradisi, Keluarga, dan Pendidikan Humanis

       Salah satu hadiah paling bagus yang dapat diberikan orangtua kepada anak-anaknya adalah kegemaran membaca, dan menyukai buku-buku bagus. Pada tahap awal dapat lewat hanya membacakan. Bentuk terkecil dari pertanggungjawaban orangtua atas perkembangan moral anak, namun sama kuat pengaruhnya dengan teladan yang baik. Lewat ‘mendengarkan’ sebagai kompetensi dasar, anak mempelajari sebuah ketrampilan. Semakin sering dilakukan akan semakin terampil. Inilah salah satu metode yang dapat digunakan keluarga sebagai bagian dari masyarakat dalam membantu pelaksanaan pengakuan negara terhadap hak anak, seperti tercantum dalam pasal 29 ‘c’ Konvensi Hak Anak: ‘Pengembangan rasa hormat kepada orang tua anak, indentitas budaya, bahasa dan nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak dan kepada peradaban-peradaban yang berbeda dari peradabannya sendiri.’.

       Pendidikan karakter dibentuk melalui sistem pater familias (keluarga) yang menghormati mos maiorum (rasa hormat terhadap tradisi leluhur sebagai norma tingkah laku dan cara berpikir) dan berazaskan nilai-nilai: mengutamakan kebaikan tanah air, devosi (la pietas) atau pengabdian, kesetiaan (la fiedes), perilaku bermutu (la gravitas), dan stabilitas. Singkat kata, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam proses pendidikan anak berdasarkan nilai-nilai penghormatan yang sama bagi sang pencipta, orangtua, dan negara; menjaga komitmen melalui kesetiaan sebagai dasar terciptanya keadilan; memiliki rasa percaya diri sepenuhnya dalam mengambil tindakan berdasarkan pengalaman; serta membina koherensi antara tindakan dengan pemikiran diri sendiri.

       Masih terus berlanjut pengembangan pemahaman akan Pendidikan karakter bagi anak pada jaman sesudahnya sehingga kesimpulan adalah hal yang tidak layak untuk dihadirkan. Justru layak bila dipelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran orang besar dalam dunia pendidikan ini.

 

BAB III

PENUTUP

 

            Pendidikan karakter diharapkan mampu memperbaiki kondisi moral bangsa agar menjadi lebih baik dari sebelumnya dan dapat menangani masalah-masalah atau konflik yang ada di Negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar